wanita dilarang menjadi seorang pemimpin

Hukum Wanita Menjadi Pemimpin Dalam Presfektif Islam

 

Pada dasarnya seorang pemimpin itu adalah seorang laki-laki. karena laki-laki itu kuat dan tegas sedangkan wanita rapuh dan lebih memakai perasaan dalam bertindak. Dari situlah banyak kaum wanita menciptakan suatu yang biasa kita sebut dengan emansipasi wanita. Dimana mereka bisa menunjukan bahwa mereka itu bisa diluar rumah tidak hanya didalam rumah saja. contohnya Mega Wati Soekarno Putri beliau adalah seorang wanita yang satu-satunya yang menjadi presiden di indonesia. Beliau memerintah dari 23 juli 2001 hingga 20 Oktober 2004. Berdasarkan tipe kepemimpinan, menurut william marson, ada empat tipe pemimpin yang dapat dikelompokkan yaitu tipe D (Dominance), I (Influencing), S (steadiness), dan C (Compliance). Dan mantan ibu negara sendiri termasuk tipe C, karena ia cenderung emosional, kurang konsisten, cukup demokratis, pendendam, hanya dapat berkomunikasi dengan orang yang ia kenal dan tidak mau repot. Buktinya beliau tidak pernah mau turun tangan ke lapangan beliau hanya menyerahkannya kepada tiap bawahannya untuk memutuskan sendiri sesuai tugasnya masing-masing. Dan beliau sering kali membahas masalah “perempuan” di setiap pidatonya  dibanding masalah negara.

Itulah salah satunya contoh mengapa islam tidak memperbolehkan seorang wanita menjadi pemimpin. Karena seorang wanita dianggap egois dan kurang tegas untuk menjadi seorang pemimmpin yang baik. Dan masalah ini juga mendapat komentar dari para ulama yaitu “terlepas dari perempuan itu mampu atau tidak mampu. Rasululloh dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari pernah bersabda menyerahkan urusannya kepada perempuan.”

Allah menciptakan manusia berpasangan, laki-laki dan perempuan. Laki-laki tampak sebagai manusia perkasa. Sebaliknya perempuan yang dipandang sebagai manusia yang lemah dan IQ nya kalah dibanding laki-laki. Sehingga dalam lintasan sejarah akan sering dijumpai penyiksaan pada perempuan, dan segala bentuk penghinaan lain pada perempuan. Perempuan dianggap tak lebih dari sampah yang bisa mengotori siapa pun yang berhubungan dengannya. Tak heran jika setiap bayi perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup[1]. Ini terjadi di jazirah arab sebelum diutusnya Nabi.

Tapi image lemah yang melekat pada perempuan sekarang sudah mulai terkikis. Kaum perempuan terus berjuang agar tidak dianggap sebagai kelas dua. Kini perempuan sudah tidak hanya berkutat di dapur, kasur, sumur. Perempuan sudah mulai banyak berperan dalam segala sektor kehidupan. Seperti dalam bidang hukum, politik, ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya.

Diantara persoalan yang berkaitan dengan perempuan, yang masih menjadi perbincangan dan perdebatan adalah kebolehan perempuan jadi pemimpin. Baik di tingkat nasional, provensi, kabupaten, kota, kecamatan, desa, ataupun di tingkat RT. Banyak yang tak setuju dengan tampilnya perempuan sebagai pemimpin, dan agama lah sebagai alasannya.

Ulama’ yang melarang perempuan jadi pemimpin mendasarkan pendapatnya pada hadits nabi[2]:

لَنْ يُفْلِح قَوْم وَلَّوْا أَمْرهمْ اِمْرَأَة

Artinya: “Tidak akan bahagia kaum yang menyerahkan urusannya pada wanita”[3]

Hadits ini merupakan respon nabi ketika mendengar bahwa Raja Persia Kisra Ibnu Barwiz meninggal dan diganti oleh anak perempuannya[4].

Namun hadits tersebut perlu dikaji lebih mendalam lagi. Apakah memang benar-benar menunjukkan ketidak bolehan perempuan jadi pemimpin?. Apalagi perempuan masa kini berbeda dengan saat datangnya hadits tersebut, juga ketika para ulama’ melarangnya jadi pemimpin.

Ada dua hal yang perlu dikaji dari hadits tersebut. Pertama, berkaitan dengan redaksi (teks) hadits tersebut. Berikut ini kajiannya:

  1. لن يفلح

لن Merupakan huruf yang berfungsi untuk menafikan fi’il (perbuatan) di masa akan datang[5]. Semua Ulama’ sepakat akan hal ini. Dalam hadits tersebut yang dimaksud fi’il adalah lafad يفلح . Jika  fungsi لن  dikaitkan dengan hadits di atas, maka akan memberi kesimpulan bahwa “kaum yang menyerahkan urusannnya pada perempuan tidak akan pernah bahagia (sampai kapan pun, tanpa ada batas waktu)”.

Namun para ulama’ berbeda pendapat mengenai apakah istiqbalnya itu menunjukkan ta’bid (selamanya) atau ta’qit. Jika mengikuti ulama’ yang berpendapat ta’bid maka kesimpulannya sama dengan kesimpulan di atas. Bedahalnya jika mengikuti pendapat yang kedua, maka kesimpulannya “Pada suatu waktu kaum yang menyerahkan urusannnya pada perempuan akan bahagia juga”.

Di dalam al-Qur’an banyak  لن yang tidak berfungsi ta’bid misalnya firman Allah berikut ini:

فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Dengan adanya lafadاليوم   , menunjukkan bahwa لن memang tidak berfungsi ta’bid. Dan di dalam al-Qur’an masih banyak ayat lagi yang menunjukkan لن tidak ta’bid, seperti pada surah Taha ayat 91, surah Yusuf ayat 66, Ali Imran ayat 92 dan 24, al-Taubah  ayat 51.

Jadi pada hadits tersebut, bisa dikatakan bahwa huruf لن tidak berfungsi ta’bid. Tapi kesimpulan ini masih menimbulkan pertanyaan, yaitu mengenai ta’qitnya. Kalau dalam ayat di atas sudah jelas ada kata  اليوم  sehingga tidak berfungsi ta’bid. Begitu juga dengan contoh lainnya yang di ta’qitmenggunakan itstisna’ (حتى \ إلا).

Untuk menyelesaikan masalah ini kita bisa merujuk pada pendapat ulama’ yang melarang perempuan jadi pemimpin karena menganggap perempuan itu lemah daya pikirnya, serta pemikirannya terlalu sempit disebabkan tidak banyak tahu tentang persoalan masyarakat[6]. Dari alasan ulama’ ini bisa diambil kesimpulan mengenai ta’qitnya, yaitu: sampai perempuan mempunyai IQ tinggi dan banyak tahu pada persoalan masyarakat. Sehingga hadits tersebut tak berlaku lagi jika berkaitan dengan perempuan yang cerdas dan sangat tahu pada persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.

  1. قوم

قوم merupakan lafad nakirah. Dalam konsep ushul fiqh, lafad (kata) yang berbentuk nakirah termasuk lafad khaas (خاص). Namun karena lafad قوم ada dalam redaksi nafi, maka lafad قوم termasuk lafad ‘aam(عام)[7]. Lafad ‘aam adalah lafad yang mencakup pada setiap afrad tanpa ada batasan[8]. Jadi lafad قوم mencakup pada setiap kaum, baik yang berkaitan dengan munculnya hadist tersebut atau tidak, termasuk yang hidup sekarang ini.

  1. وَلَّو

ولى berarti menjadikan seseorang sebagai wali (penguasa)[9]. Namun menurut riwayat Humaidi menggunakan redaksi وَلََِى dan lafad إمرأة menjadi fa’il[10]. Ada juga riwayat lain yang menyebutkan dengan redaksi مَلَّكَ yang artinya menjadikan seseorang menguasai[11]. Hakikatnya ketiga redaksi tersebut mempunyai arti sama, yaitu menjadikan seseorang sebagai penguasa.

Dengan melihat makna tersebut, sesungguhnya hadits di atas lebih cocok ketika diarahkan pada negara yang pemerintahannya berbentuk kerajaan atau monarki (pemerintahan oleh satu kepala), seperti di Persia ketika itu. Karena dalam sistem kerajaan, seorang raja mempunyai hak preogratif dalam segala bidang, yang tidak bisa ditentang oleh siapapun. Bedahalnya dengan negara demokrasi, dimana rakyat bisa mengawasi kepala negara dengan dibentuknya lembaga wakil rakyat. Dan para wakil rakyat itu bisa menurunkan kepala Negara dari jabatannya jika dianggap menyalahi undang-undang.

  1.  أمرهم

 أمرهم Juga lafad ‘aam, karena أمر merupakan lafad mufrad yang dimudhafkan pada isim ma’rifat[12]. Berarti makna lafad أمر mencakup pada semua persoalan. Jika dikaitkan dengan hadits maka mencakupnya makna lafad أمر pada setiap persoalan sangat pas. Karena ini berkenaan dengan pemimpin Negara yang memang menjadi pengendali Negara. Setiap persoalan yang di sebuah Negara maka tak akan lepas dari peran seorang kepala negara dalam penyelesaiannya.

Redaksi ini juga lebih pas jika dikaitkan dengan Negara yang berbentuk kerajaan atau monarki. Karena walaupun ada masalah yang tak ditangani oleh kepala Negara, seorang kepala Negara masih mempunyai kuasa penuh atas masalah tersebut. Tentu beda dengan Negara demokrasi yang ada beberapa persoalan tidak menjadi wewenang kepala Negara, semisal pembuatan dan perubahan undang-undang.

  1. إمرأة

إمرأة adalah lafad muthlaq, dan lafad mutlaq merupakan salah satu bentuk lafad khas. Lafad khaas bisa berupa nama seperti Muhammad, dan juga bisa berupa jenis[13]. Sedangkan  إمرأة termasuk lafadkhaas yang berupa jenis, tapi walaupun berupa jenis, tidak semua nau’ masuk pada lafad tersebut. Karena yang dipandang dalam lafad khaas yang jenis adalah hakikat atau mahiyah dari lafad, dan bukanlah afrad yang ada di dalamnya. Sehingga lafad إمرأة ini tidak bisa mencakup pada semua perempuan, tapi hanya tertentu pada perempuan yang dimaksud dalam hadits tersebut, yaitu anak perempuan Kisra yang didaulat sebagai pengganti ayahnya yang meninggal.

Dari beberapa ulasan di atas, ketidak bolehan perempuan sebagai pemimpin dengan mendasarkan pada hadits tersebut perlu dipertanyakan. Apalagi redaksi haditsnya bukan dalam bentuk nahi(larangan) tapi nafi. Sehingga bisa saja nabi hanya ingin memberitahukan bahwa anak perempuan Kisra tidak akan sukses dalam memimpin Persia.

Berkaitan dengan posisi perempuan saat munculnya hadits tersebut. Perempuan dalam pandangan masyarakat Persia sangat rendah. Ini bisa terlihat pada kepercayaan mereka yang menganggap bahwa perkawinan seorang laki-laki dengan ibunya, anaknya, atau saudaranya merupakan sebuah keutamaan[14]. Sehingga sangat pantas nabi mengucapkan “Tidak akan bahagia orang yang menyerahkan urusannya pada perempuan”. Mengingat pandangan masyarakat pada perempuan akan menyebabkan peran anak Kisra sebagai raja tidak akan sekuasa ayahnya.

Hal ini sangat jauh perbedaanya dengan kondisi di masa sekarang. Di mana perempuan sudah bisa bersaing dengan laki-laki. Semisal dalam dunia pendidikan, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, yaitu bisa mengenyam dunia pendidikan setinggi-tingginya. Hal ini berdampak pada kemampuan perempuan masa kini tidak bisa dianggap remeh. Sehingga terkadang wanita lebih unggul dari pada laki-laki.

Dengan memandang kondisi ini, sesungguhnya tak ada alasan untuk melarang perempuan menjadi pemimpin. Apalagi yang menjadi tujuan utama adalah kesejahteraan rakyat. Untuk bisa mensejahterakan rakyat tentu tak harus laki-laki, tapi tergantung pada kemampuannya dalam memimpin. Dan kemampuan inilah yang bisa ada dalam diri siapa pun, baik laki-laki atau perempuan. Sehingga orang yang mempunyai kemampuan lah  yang layak menjadi pemimpin.

Pada intinya tetap saja yang menjadi pemimpin adalah seorang laki-laki karena syarat untuk menjadi seorang pemimpin dalam islam adalah

  1. Beriman dan beramal shaleh
  2. Niat yang lurus
  3. Seorang laki-laki
  4. Tidak meminta jabatan
  5. Berpegang pada hukum Allah SWT.
  6. Adil
  7. Menasehati Rakyat.
  8. Tidak menerima hadiah.
  9. Tegas
  10. Lemah lembut

Jadi dalam prespektif islam bukannya melarang seorang wanita menjadi pemimpin tetapi jika masih ada laki-laki hendaklah laki-laki itulah yang dijadikan seorang pemimpin.

 

[1] KH. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, I/29

[2] Syarh Miyarah, I/26; Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, VIII/81.

[3] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, XIII/337

[4] Ibnu Hajar, Fathul Bari li Ibni Hajar, XX/107

[5] Imam Badruddin Muhammad Abdulla al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, IV/413;Mughnillabib, I/221

[6] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, VIII/81

[7] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, I/242; Zakariya al-Anshari, Lubbul Ushul, 71.

[8] Op.cit 238; 69; Manna’ul Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, 221.

[9] Luais Ma’luf, al-Munjid, 919

[10] Ibnu Hajar, Fathul Bari li Ibni Hajar, XX/107

[11] Luais Ma’luf, al-Munjid, 774

[12] Zakariya al-Anshari, Lubbul Ushul, 71; Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, I/241.

[13] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, I/204

[14] Dr. M. Sa’id Ramadhan al-Buthy, Fiqh Sirah Muhammad saw, 19.

 

Leave a comment